Din Syamsuddin Mendapat Perolehan Terbanyak

Pemilihan 13 anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berlangsung seru tadi malam. Din Syamsuddin, memimpin perolehan suara. Padahal saat sidang tanwir penetapan calon sementara, Din berada di rangking dua bersama Yunahar Ilyas. Posisi Din di atas itu, memberi peluang lebih besar untuk kembali menjadi ketua umum.
    
Hasil tersebut hingga pukul 23.40 saat koran ini naik cetak. Namun, sulit nama Din bisa  dikejar karena suara yang masuk sudah 90 persen lebih. Dalam pemilihan di Gedung A.R Fachruddin, Komplek Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu, posisi kedua di tempati oleh Muhammad Muqqodas. Ini juga mengejutkan, karena saat pemilihan calon sementara, Muqqodas berada di nomor 5,  berarti naik tiga strip. Malik Fadjar juga terkerek. Di daftar pemilihan sementara dia bertengger di urutan ke 8, namun tadi malam loncat ke nomor tiga.
    
Sementara Haidar Nashir yang menempati urutan teratas saat penyusunan calon sementara, melorot menjadi nomor lima. Nama lain yang merosot adalah Yunahar Ilyas, yang sebelumnya di nomor urut 2 menjadi urutan 6. Saudara Amin Rais, Dahlan Rais tetap bertahan di nomor empat.
    
Yang cukup mengejutkan, adalah ketua PWM Jatim Syafiq Mughni yang berada di nomor 9. Sebelumnya dia berada di nomor 20. Syafiq hampir pasti terpilih, karena yang masuk menjadi anggota PP Muhammadiyah sampai rangking 13. Sementara mantan Mendiknas Bambang Soedibyo berada di posisi kritis, menempati posisi 12, satu strip di atas batas calon terpilih.
   
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif menilai hasil tersebut cukup mengejutkan. Dia melihat warga Muhammadiyah di akar rumput mulai bersikap independen. Keinginan pengurus wilayah untuk memilih calon tertentu tidak sudah tak manjur.

 Pimpinan Perempuan

Gerakan mengakomodasikan perempuan dalam Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendatang menggelinding semakin kuat. Muncul desakan agar enam anggota tambahan PP berasal dari kaum hawa.  Mantan Rektor UIN Jakarta Azyumardi Azra yang berbicara dalam diskusi di Media Center Aisyiyah menilai Muhammadiyah memiliki SDM (sumber daya manusia) perempuan yang mumpuni. Karena itu, dia heran, di antara 39 calon tetap pimpinan Muhammadiyah, tak ada satu kursi pun untuk perempuan. "Sudah sepatutnya, di antara ketua-ketua dan sekretaris pimpinan pusat Muhammadiyah ada perempuan. Muhammadiyah sudah saatnya melakukan pengarusutamaan perempuan," kata Azyumardi di Jogja kemarin (5/7).
 
Tidak adanya calon perempuan memunculkan protes dari Nasyiatul Aisyiyah. Organisasi itu melayangkan nota keberatan. Setelah itu, muncul gagasan dari Ketum PP Muhammadiyah demisioner Din Syamsuddin agar anggota PP Muhammadiyah ditambah enam orang. Bila usul Din lolos, anggota PP Muhammadiyah menjadi 19 orang karena 13 orang terpilih lewat pemilihan muktamirin. Menurut Azyumardi, enam anggota tambahan seharusnya perempuan. "Dipilih saja, enam orang tersebut perempuan semua. Berarti yang 13 lelaki. Adil kan," katanya
 
Selama ini, lanjut Azyumardi, perempuan di jajaran elite Muhammadiyah hanya bisa masuk melalui pintu Aisyiyah. Mereka harus menjadi ketua umum PP Aisyiyah agar menjadi ex officio di jajaran pimpinan PP Muhammadiyah. "Salah satu kekuatan Islam di Indonesia terletak pada pemberdayaan perempuan. Sesuatu yang tak bisa dilakukan negara-negara lain," jelasnya.
 
Bahkan, imbuh guru besar sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah itu, Indonesia kerap menjadi contoh pemberdayaan perempuan di ruang publik. Salah seorang tokoh muslim di Inggris datang langsung ke Indonesia untuk mengadopsi dan belajar tentang hal tersebut. "Di Inggris, selalu ada pemisahan terhadap perempuan muslim. Mereka tidak bisa terlibat aktivitas sosial," katanya.
 
Sementara itu, anggota Aisyiyah yang juga mantan Ketua Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia Chusnul Mar?iyah menegaskan, minderheit nota atau nota keberatan yang dikeluarkan Aisyiyah kepada PP Muhammadiyah pada Minggu (4/7) wajib dilakukan. Apalagi, alasan yang mendasari penandatanganan minderheit nota cukup kuat. "Tuntutan Aisyiyah itu harus ditanggapi serius," ujarnya saat hadir sebagai peninjau Muktamar Aisyiyah di Grha Wana Bhakti Yasa kemarin.
 
Chusnul menyebut Aisyiyah lebih dari sekelompok produk fashion yang genit. Perannya dalam pengembangan amal usaha Muhammadiyah selama satu abad tidak kecil. Apalagi, di antara keseluruhan anggota Muhammadiyah, anggota perempuan tidak sedikit. "Harus diakui, database keanggotaan Muhammadiyah dan Aisyiyah belum sempurna. Jumlah anggota perempuan belum terdata dengan baik. Tapi, saya yakin jumlahnya cukup besar. Bahkan, mungkin hampir separonya," jelasnya.
 
Mantan anggota KPU pusat itu menilai, daftar 39 anggota calon anggota tetap yang dikeluarkan PP Muhammadiyah jelas memarginalkan perempuan. Padahal, menghasilkan kepengurusan yang lebih egaliter secara gender sudah dicanangkan saat muktamar di Malang pada 2005. "Kalau sekarang masih tidak mau mengubah susunan calon yang ada, itu berarti pimpinan Muhammadiyah masih resistan terhadap peran aktif perempuan Muhammadiyah di kepengurusan inti," tuturnya.
 
Apabila alasan yang dipakai Muhammadiyah meniadakan perempuan di jajaran kepengurusan adalah alasan teknis seperti AD/ART yang belum memungkinkan, Chusnul menegaskan bahwa aturan bisa diubah. "Aturan yang tidak boleh diubah adalah Alquran," tandasnya.
 
Sebaliknya, langkah Muhammadiyah mereformasi aturan adalah bentuk ijtihad politik yang penting untuk menandai abad kedua. "Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah saat ini berbeda dengan tantangan saat didirikan satu abad lalu. Harus ada langkah maju yang vital dalam internal organisasi," ungkapnya.
 
Apalagi, tantangan yang dihadapi abad baru Muhammadiyah terkait erat dengan persoalan perempuan. Perdagangan manusia, kekerasan dalam rumah tangga, pendidikan keluarga, dan kemiskinan adalah masalah yang bersinggungan langsung dengan perempuan.
 
Gagasan yang diberikan Chusnul adalah memberikan reserved seat quota atau sejumlah kursi kepada tokoh Aisyiyah. Bila hal itu dikhawatirkan mengurangi jumlah calon pengurus pusat pria, jumlahnya bisa ditambah menjadi lebih dari 13 pengurus pusat.
 
Ketua Pengurus Wilayah Aisyiyah (PWA) Jatim Esty Martiana Rachmi menilai organisasi yang lebih responsif gender sebagai kebutuhan yang tidak bisa dikesampingkan. "Susunan pengurus pusat Muhammadiyah adalah potret gerakan. Apakah akan kita biarkan potret gerakan yang tidak mewakili kepentingan sebagian anggotanya" ungkapnya.
 
Reformasi pemikiran dengan menyertakan perempuan dalam kepengurusan, lanjut dia, merupakan ciri gerakan pembaruan. "Kita tidak melupakan kodrat perempuan atau ingin mendominasi laki-laki. Kita tetap paham kodrat. Yang kita minta adalah dilibatkan dalam peran kebangsaan. Muhammadiyah memainkan peran bagi seluruh bangsa. Kalau perempuan dilibatkan, tentu akan lebih sempurna," paparnya

0 komentar: